Opini Tentang Opini

Sahabat,

Rasanya kurang afdol jika saya tergabung di komunitas juragan cipir ini tanpa kenalan. Saya bisa dengan teriakan pembaca yang duduk di pojok  sambil ngupil, “Kalo kenalan harus bawa oleh-oleh, Mas!”

Yang lebih memalukan justru pesan owner blog ini setiap saya log-in, “Payah ! Kamu belum menulis artikel apa-apa sama sekali.”

Kata-kata pedas itu terus terpikir setiap kali saya login. Uhhmm … baiklah. Paling tidak saya harus nulis sesuatu sebagai buah tangan untuk sahabat baru saya.

Mungkin tulisan?

Terus terang kalau tulisan seputar trik bloging saya tak begitu paham, Di blog ini bertabur bintang. Bintang SEO, bintang Adense, atau bintang blogging skill yang lain.

Makanya saya mau nulis tentang opini saja. Ini opini saya tentang menulis opini untuk blog maupun media sosial.

Dua minggu lalu, seorang sahabat yang aktif menulis untuk media sosial curhat dengan muka merona merah seperti tomat yang harganya lagi anjlok di pasaran, sambil ngepalin tangan dia
teriak, “Gua sebel Han! tulisan gua di media anu dikritik orang. Sebagain malah bernada bulyy”

Saya diam …garuk-garuk kepala, sebelum akhirnya menjawab,

“Kalau Lu masih galau, labil, cengeng, apa lagi belum mampu mengelola emosi dengan baik jangan coba melempar opini ke publik.
Menulis opini untuk publik itu tidak seperti melempar batu ke tengah kolam. Plung! … nyemplung terus tenggelam.”

READ  Blogger Itu Selalu Belajar

Omelan saya pun berlanjut.

Opini lebih mirip kerikil yang dilemparkan secara acak ke tengah pasar.

Bisa dibayangkan?

Kerikil yang kamu lempar bisa aja kena Bang Mamad, penjual daging yang belum dapat duit sepeser pun. Bisa kena Mpok Hindun yang sedang galau karena anaknya sakit. Bisa juga kena Mas Joko yang sudah dua minggu gak dapat nafkah batin … eeehhh, 😈  lagi-lagi gua gak fokus.

Intinya, apapun yang kamu lempar ke publik, bisa dilemparkan kembali pada penulis. Bisa berupa kritik, hujatan, makian, juga celaan dari orang-orang yang tidak sependapat atau salah tafsir.

Bisa juga dari kelompok super sensitif atau golongan yang dalam Al-Quran disebut sebagai “Kelompok yang menganggap tiap teriakan ditujukan buat mereka.” Sekalipun tulisan tersebut tidak ditujukan kepada mereka.

Saya sendiri pernah ngalamin situasi seperti ini. Ketika menulis humor tentang Akroplak (akronim koplak) tentang jomblo. Ada jomblowan bernama Dito (Ditolak) dan Jomblowati – Dita (Ditampik) yang kurang senang dan merasa humor tersebut menyakiti mereka.

Gimana cara ‘ngadepin’ serangan balik model ini?

Siapkan argumen yang valid. Referensi, statistik atau apapun yang berhubungan dengan tulisan anda. Jawab semua kritik dan keberatan mereka dengan kepala dingin.

Kalau ternyata kamu memang ada di pihak yang salah, bersikaplah satria dengan meminta maaf. Gak perlu juga ngotot dan jadi Capslock Warrior, menyampaikan argumentasi salah dengan HURUF BESAR apalagi serangan tanda seru (!!!!!).

READ  Pendapatan Adsense Terletak Pada Betah Melek

Lue kate tanda seru bisa gantiin panah untuk melukai lawan debat, apa!

Terlepas dari manfaat menulis secara umum sebagai sarana Katarsis* dan membantu penyembuhan beberapa penyakit fisik, menulis opini bermanfaat untuk melatih dan memperkuat pertahanan mental.

Seseorang yang menulis opini untuk media, tidak diragukan lagi akan menerima kritik, makian, kemungkinan hujatan dari pembaca yang tidak setuju dengan opini penulis.

Jika semua input ini bisa disikapi secara dewasa insyaAllah mentalnya akan terlatih dan semakin kuat.

JIka ada dampak baik, pasti ada dampak buruk dong, Iya gak?

Dampak buruknya, seseorang yang secara mental belum siap, justru akan kehilangan semangat. Bisa jadi malah berhenti menulis karena gak tahan dengan kritik dan hujatan pedas yang kemungkinan dia terima.

Semoga pembaca bisa menangkap maksud saya di atas. Jangan menulis opini untuk publik jika belum siap untuk menerima input, pendapat, dan kritik pembaca atas tulisan anda.

***
Jakarta. 23.09.15

*Pengobatan penyakit psikologis dengan menuangkan segala isi hati dengan (menulis) bebas [KBBI}